Meski aku sekolah, tinggal dan kerja di kota besar, tetap saja saat aku
pulang ke kampung aku harus menuruti aturan yang ada di rumah, yaitu aturan
Ibu. Niat hati aku dan kakak-kakakku agar lebih mudah dan simple, urusan tetek
bengek pernikahanku diserahkan saja ke Wedding Organizer. Tapi apa daya Ibu
ingin semuanya diatur sendiri.
Dan kalau sudah diatur sendiri ujung-ujungnya aku yang jalan. Karena
kakak-kakakku semua di luar kota. Mana mungkin mereka bolak-balik hanya untuk
urusan gini. Jadilah koordinasi lewat telephone saja.
Tidak ada pingit-memingit dalam kisahku ini. Karena tidak menggunakan
jasa WO akulah tombak perjalanan ini. Mulai dari mencari percetakan undangan.
Catering, dekorasi sampai rias manten. Kenapa gak minta tolong tetangga atau
siapa gitu? Banyak sih yang nawarin, tapi untuk pemilihan tetap ada di tanganku
karena itu berkaitan dengan selera, selanjutnya dibantu oleh saudara dan
tetangga.
Melangkah Setiap Hari Bersama Lactacyd White Intimate
Siang itu cukup terik, aku harus menemukan tempat pemesanan undangan
yang bagus dan bisa cetak cepat. Di sebuah komplek ruko ada cukup banyak
percetakan undangan. Lalu aku turun dari motor dan berjalan kaki masuk ke satu
persatu percetakan undangan itu. Melihat satu persatu desain undangannya,
hingga akhirnya aku menemukan yang pas! Meski sedikit lelah.
Sore hari aku pulang ke rumah dengan wajah girang dan membawa sample,
serta cerita pemburuan undangan hari itu. Kebetulan di rumah ada sepupuku, wah
bagai angin segar karena ada orang yang aku ajak bercerita. Akupun menumpahkan
segala cerita terpendam beberapa hari terakhir padanya. Curhatan calon manten
gitu…
“Nduk…. Mau jadi manten kok dekil banget to….”
“lah.. gampang mbak, nanti jelang perikahan aku mandi
kembang 7 rupa” kita berdua pun
ketawa ketiwi berbagi cerita.
“Ini nduk kalau mandi di pake, manten kok polahe
akeh”
“Ini apa mbak?”
“Pembersih kewanitaan buat kamu, biar gak duduk
goyang-goyang ngapain kaya gitu? Gatel kan?? Ya iyalah keringeten kegiatan
banyak kesana kesini..”
“Iya, kok mbak tau sih…’
“Iyalah.. Mbak kan hidup lebih lama dari kamu,
lebih pengalaman..”
Saat melihat photo ini di facebook seorang food blogger yang
hobi masak mbak Diah Didi ini, apa yang ada di kepala rata-rata wanita? Sosisnya atau kompornya? Yups kompor lebih banyak menyita
perhatian sebagian wanita. Kemudian muncullah komentar pertanyaan
"kompornya merek apa?" "itu kompor listrik ya?" "belinya dimana?"
"harganya berapa?"
Ketika sudah tau jenis kompornya, belinya dimana, harganya
berapa, lalu buka dompet dan....... pengen beli tapi masih harus bayar
tagihan listrik, bayar ini dan itu. Gagal lagi deh punya dapur cantik
dengan kompor listrik itu.
Itulah perempuan atau istri yang hidup dengan keterbatasan
ekonomi. Keinginan dan kebutuhannya tak bisa langsung sekejap di
kabulkan dia meski mendahulukan kebutuhan lain yang dirasa lebih
penting. Bahkan terkadang seseorang harus membunuh rasa keinginannya
atas sesuatu, mengingat keterbatasan ekonomi dan mahalnya pembiayaan